Beranda | Artikel
Merawat Akar Istiqomah
Kamis, 26 September 2019

Bismillah.

Istiqomah adalah perkara yang sangat agung. Ia merupakan anugerah dari Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Tidak mungkin seorang insan bisa istiqomah di atas agama ini kecuali dengan taufik dan pertolongan Rabbnya.

Akar atau kunci istiqomah terletak pada keistiqomahan hati; sejauh mana hati itu tunduk kepada Allah dan mengagungkan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah istiqomah  iman seorang hamba sampai istiqomah hatinya.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Albani). Hadits ini menunjukkan bahwa keistiqomahan anggota badan tergantung pada keistiqomahan hati, sedangkan keistiqomahan hati adalah dengan mengisinya dengan kecintaan kepada Allah, cinta terhadap ketaatan kepada-Nya dan benci berbuat maksiat kepada-Nya (lihat mukadimah Syarh Manzhumah fi ‘Alamati Shihhatil Qalbi, hlm. 5-6)

Memohon Pertolongan Allah

Untuk bisa mencintai kebaikan dan membenci kemaksiatan maka seorang hamba tidak akan bisa mewujudkannya kecuali dengan pertolongan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Akan tetapi Allah lah yang membuat kalian mencintai keimanan dan menghiasinya di dalam hati kalian serta membuat kalian tidak suka kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Mereka itulah orang-orang yang lurus/mengikuti petunjuk. Suatu keutamaan dari Allah dan nikmat dari-Nya, Allah Mahamengetahui lagi Mahabijaksana.” (al-Hujurat : 7-8)

Oleh sebab itu seorang muslim selayaknya berdoa kepada Allah agar diberikan keteguhan hati di atas iman dan amal salih. Sebagaimaan doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinik…’ “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” Karena hati manusia berada diantara jari-jemari Allah; yang Allah akan membolak-balikkan hati itu sebagaimana kehendak-Nya. Sebagaimana ia juga meminta kepada Allah untuk kebersihan hatinya. Seperti dalam doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Allahumma aati nafsi taqwaahaa wa zakkihaa anta khairu man zakkaahaa’ “Ya Allah berikanlah kepada jiwaku ketakwaannya, sucikanlah ia, sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang bisa menyucikannya.” (HR. Muslim)

Banyak Mengingat Allah

Diantara sebab yang bisa mewujudkan keistiqomahan hati adalah dengan mengingat Allah dan bersyukur kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka ingatlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian kufur.” (al-Baqarah : 152). Oleh sebab itu sebagian ulama salaf mengatakan kepada teman-temannya, “Ayo kita perbaharui iman barang sejenak. Mari mengingat Allah sehingga akan semakin menambah keimanan dengan taat kepada-Nya, semoga Allah mengingat kita dengan ampunan-Nya.” (lihat nukilan yang dibawakan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Tajdid al-Iman, hlm. 5)

Dzikir atau mengingat Allah merupakan sebab hidupnya hati. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari). Sementara hakikat dzikir itu adalah dengan taat dan patuh kepada aturan dan petunjuk Allah. Allah pun sudah mengingatkan agar kita tidak melupakan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah maka Allah pun membuat mereka lupa akan dirinya sendiri.” (al-Hasyr : 19)

Selalu Mensyukuri Nikmat Allah

Sebagaimana telah diketahui dalam aqidah Islam, bahwa iman akan bertambah kuat dengan ketaatan dan menjadi berkurang dan melemah akibat kemaksiatan. Taat kepada Allah merupakan bagian dari syukur kepada-Nya. Syukur inilah yang akan menjaga nikmat agar tetap langgeng dan terpelihara. Seperti dikatakan sebagian ulama, bahwa nikmat jika disyukuri akan terus menetap sedangkan jika diingkari ia akan lenyap. Oleh sebab itu kita juga diajari untuk berdoa kepada Allah agar dibantu dalam berdzikir kepada-Nya dan bersyukur kepada-Nya serta beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu.

Ketaatan terbesar kepada Allah adalah dengan mentauhidkan-Nya. Karena inilah yang menjadi tujuan penciptaan jin dan manusia serta misi dakwah para rasul yang paling utama. Oleh sebab itu ucapan dzikir yang paling utama adalah kalimat tauhid laa ilaha illallah. Di dalam kalimat ini telah tercakup pembersihan hati dari segala ketergantungan hati kepada selain Allah dan menyandarkan hati dan penghambaan kepada Allah semata. Dengan kata lain keistiqomahan itu sangat ditentukan oleh kelurusan aqidah dan kemurnian iman.

Menjauhi Fitnah dan Terus Menimba Ilmu

Kelurusan aqidah akan terwujud dengan menjaga hati dari berbagai fitnah syubhat. Adapun kemurnian iman akan terpelihara dengan membentengi diri dari segala bentuk fitnah syahwat. Oleh sebab itu sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berdoa kepada Allah ‘Allahumma zidnii iimaanan wa yaqiinan wa fiqhan’ artinya, “Ya Allah, tambahkanlah kepadaku iman, keyakinan, dan pemahaman.” (lihat Tajdid al-Iman, hlm. 4).

Sementara lurusnya aqidah dan murninya iman tidak bisa diperoleh kecuali dengan hidayah Allah dan ilmu yang bermanfaat. Oleh sebab itulah setiap hari kita diajari untuk berdoa kepada Allah memohon ilmu yang bermanfaat dan kita juga dibimbing untuk terus-menerus meminta hidayah kepada Allah di dalam sholat kita.Diantara keutamaan ilmu adalah bahwa ilmu itu membuahkan rasa takut kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang paling merasa takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir : 28) 

Oleh sebab itulah kita dapati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang senantiasa berdzikir kepada Allah, berjuang keras dalam mewujudkan syukur kepada-Nya, dan sekaligus menjadi orang yang banyak-banyak beristighfar kepada Allah. Dengan demikian istiqomahnya hati tidak akan terwujud bersama hati yang lalai dari mengingat Allah. Istiqomahnya hati juga tidak bisa kokoh kecuali dengan selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang begitu banyak. Istiqomahnya hati pun tidak bisa tegak kecuali dengan terus-menerus memohon ampunan kepada Allah atas segala dosa dan mengakui akan kekurangan pada diri dan amalan kita.

Karena itulah para ulama menjelaskan bahwa sifat orang mukmin itu memadukan antara berbuat kebaikan dan merasa takut akan diri dan amalnya, sedangkan sifat orang fajir adalah memadukan antara berbuat kejelekan dan merasa aman dari hukuman Allah. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti dirinya sedang duduk di bawah sebuah gunung; dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpa dirinya.”

Mengakui Kebodohan

Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan :

Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya.

Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya.

Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya.

Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.

(lihat al-Fawa’id, hlm. 36)

Mengokohkan 2 Pondasi Penghambaan

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa penghambaan kepada Allah berporos pada dua kaidah dasar yaitu kecintaan yang sepenuhnya dan perendahan diri yang sempurna. Munculnya kedua pokok/kaidah ini berangkat dari dua sikap prinsip yaitu musyahadatul minnah -menyaksikan curahan nikmat-nikmat Allah- dan muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal -selalu meneliti aib pada diri dan amal perbuatan-. Dengan senantiasa menyaksikan dan menyadari setiap curahan nikmat yang Allah berikan kepada hamba akan tumbuhlah kecintaan. Dan dengan selalu meneliti aib pada diri dan amalan akan menumbuhkan perendahan diri yang sempurna kepada Rabbnya (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlm. 8 tahqiq Abdul Qadir dan Ibrahim al-Arna’uth)

Perpaduan antara sikap musyahadatul minnah dengan muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal ini bisa kita lihat di dalam rangkaian doa sayyidul istighfar pada kalimat yang berbunyi ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu’u bi dzanbii’ yang artinya, “Aku mengakui kepada-Mu atas segala nikmat dari-Mu kepadaku, dan aku pun mengakui atas segala dosaku.” (HR. Bukhari). Di dalam ungkapan ‘abuu’u laka bini’matika ‘alayya’ terkandung sikap musyahadatul minnah; yaitu kita mempersaksikan akan sekian banyak nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita. Adapun di dalam ungkapan ‘abuu’u bi dzanbii’ terkandung sikap muthala’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; yaitu terus-menerus memeriksa dan menyadari cacat pada diri dan amal-amal kita.

Dengan selalu mempersaksikan dan menyadari akan betapa banyak curahan nikmat yang Allah berikan akan menumbuhkan kecintaan, pujian, dan syukur kepada Allah yang telah melimpahkan begitu banyak kebaikan. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal perbuatan akan melahirkan sikap perendahan diri, merasa butuh, fakir, dan bertaubat di sepanjang waktu. Sehingga orang itu tidak memandang dirinya kecuali berada dalam kondisi bangkrut. Pintu terdekat yang akan mengantarkan hamba menuju Allah adalah pintu gerbang perasaan bangkrut. Dia tidak melihat dirinya memiliki kedudukan atau posisi dan peran yang layak diandalkan/dibanggakan. Sehingga dia pun akan mengabdi kepada Allah melalui pintu gerbang perasaan fakir yang seutuhnya dan kondisi jiwa yang dilanda kebangkrutan (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hlml. 7)

Demikian sedikit kumpulan catatan, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/merawat-akar-istiqomah/